Konsep PHT ekologi
berangkat dari perkembangan dan penerapan PHT dalam sistem pertanian di tempat
tertentu. Dalam hal ini, pengendalian hama didasarkan pada pengetahuan dan
informasi tentang dinamika populasi hama dan musuh alami serta keseimbangan
ekosistem. Berbeda dengan konsep PHT teknologi yang masih menerima teknik
pengendalian hama secara kimiawi berdasarkan ambang ekonomi, konsep PHT ekologi
cenderung menolak pengendalian hama dengan cara kimiawi. Dalam menyikapi dua
konsep PHT ini, kita harus pandai memadukannya karena masing-masing konsep
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Hal ini disebabkan bila dua konsep tersebut
diterapkan tidak dapat berlaku umum.
PHT dalam Konteks
Produksi Padi
Luas panen padi pada
tahun 2003 tercatat 11,48 juta hektar dan produksi padi pada tahun tersebut
mencapai 52,08 juta ton, meningkat 1,14% dibanding tahun 2002 (51,49 juta ton).
Kenaikan produksi merupakan dampak dari peningkatan produktivitas padi, dari
4,47 t/ha pada tahun 2002 menjadi 4,52 t/ha pada tahun 2003. Hal ini
menunjukkan bahwa penerapan teknologi, termasuk pengendalian hama dan penyakit,
memegang peranan penting. Dengan asumsi tidak ada terobosan teknologi maka
produksi padi pada tahun 2020 diproyeksikan 57,4 juta ton. Sementara itu jumlah
penduduk Indonesia pada tahun yang sama diperkirakan 262 juta jiwa dengan laju
pertumbuhan penduduk 1,27%/ tahun. Apabila konsumsi beras per kapita masih tetap
134 kg/tahun maka kebutuhan beras pada tahun 2020 mencapai 35,1 juta ton atau
setara dengan 65,9 juta ton gabah kering giling (GKG). Kalau produksi padi
tidak meningkat berarti pada tahun 2020 terjadi kekurangan beras 4,5 juta ton
atau setara dengan 8,5 juta ton GKG (Budianto 2002). Untuk mengatasi kekurangan
pangan perlu adanya terobosan peningkatan produksi padi. Pengalaman di lapangan
menunjukkan bahwa produktivitas padi masih dapat ditingkatkan melalui
implementasi program PHT. Dalam praktek PHT, hasil padi petani di Karawang pada
MK 1995 masih meningkat hingga 37% dengan penanaman varietas tahan hama wereng
dan meningkat 46,3% untuk varietas tidak tahan (Baehaki et al. 1996).
PHT Mendukung Pertanian
Praktek Pertanian yang Baik
Aspek keselamatan, kesehatan,
dan lingkungan pada keseluruhan proses produksi sampai pemasaran dinilai dengan
International Standardization Organization (ISO) yang dikenal dengan pendekatan
sistem mutu dan keamanan pangan, termasuk di dalamnya Sistem Manajemen ISO 9000
tentang Manajemen Mutu, ISO 14000 tentang Manajemen Lingkungan, dan Hazard
Analysis Critical Control Point (HACCP) tentang Sistem Manajemen Keamanan
Pangan. Produk yang berkualitas harus memiliki empat kriteria yaitu:
(1) Memenuhi sifat
keindraan (sensory properties) yang meliputi rasa, penampilan, bau, dan warna;
(2) Memenuhi nilai
nutrisi (nutritional value) yang menyangkut isi nutrisi, vitamin, dan tidak
terdapat hal yang tidak diinginkan seperti zat yang menimbulkan alergi;
(3) Menenuhi kualitas
kesehatan (hygienic quality) yang menyangkut kebersihan, kesegaran, tidak ada
serangga, tidak menjijikkan; dan
(4) Memenuhi aspek
keamanan pangan (food safety) yang menyangkut tidak adanya mikroorganisme
penyebab penyakit, tidak berisi zat toksik seperti pestisida, logam berat,
mikotoksin, dan tidak ada tipuan (Frost 2001).
GAP (Good Agricultural
Practices) dapat diaplikasikan dalam rentang waktu dan daerah yang luas
terhadap sistem pertanian dengan skala yang berbeda. GAP digunakan dalam sistem
pertanian berkelanjutan yang mencakup PHT, pengelolaan hara terpadu,
pengelolaan gulma terpadu, pengelolaan irigasi terpadu, dan pemeliharaan
(conservation) lahan pertanian. Penerapan PHT diperlukan dalam sistem produksi
pertanian berkelanjutan. Oleh karena itu, GAP harus memiliki empat prinsip
utama:
1. Penghematan dan
ketepatan produksi untuk ketahanan pangan (food security), keamanan pangan
(food safety), dan pangan bergizi (food quality).
2. Berkelanjutan dan
bersifat menambah (enhance) sumber daya alam.
3. Pemeliharaan kelangsungan
usaha pertanian (farming enterprise) dan mendukung kehidupan yang berkelanjutan
(sustainable livelihoods).
4. Kelayakan dengan
budaya dan kebutuhan suatu masyarakat (social demands).
Aspek yang akan
disentuh oleh elemen GAP di bidang “perhamaan” adalah proteksi tanaman. Hal ini
membutuhkan strategi pengelolaan risiko, yang mencakup penggunaan tanaman tahan
hama dan penyakit, rotasi tanaman pangan dengan pakan ternak, ledakan penyakit
pada tanaman peka, dan penggunaan bahan kimia seminimal mungkin untuk
mengendalikan gulma, hama, dan penyakit dengan mengikuti konsep PHT. GAP akan
menjangkau beberapa aktivitas yang berkaitan dengan pengendalian hama sebagai
berikut:
1. Penggunaan varietas
tahan dalam proses pelepasan beruntun (sequencetial), asosiasi, dan kultur
teknis untuk mencegah perkembangan hama dan penyakit.
2. Pemeliharaan
keseimbangan biologi antara hama dan penyakit dengan musuh alami.
3. Adopsi praktek pengendalian
menggunakan bahan organik bila memungkinkan.
4. Penggunaan teknik
pendugaan hama dan penyakit bila telah tersedia.
5. Pengkajian semua
metode yang memungkinkan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang,
terhadap sistem produksi dan implikasinya terhadap lingkungan guna meminimalkan
pemakaian bahan kimia pertanian, khususnya dalam meningkatkan adopsi teknologi
PHT.
6. Penyimpanan dan
penggunaan bahan kimia yang sesuai dan teregistrasi untuk individu tanaman
serta waktu, dan interval penggunaan sebelum panen.
7. Pengamanan
penyimpanan bahan kimia dan hanya digunakan oleh personel yang sudah terlatih
dan memiliki pengetahuan (knowledgeable persons).
8. Pengamanan peralatan
yang digunakan untuk mengatasi bahan kimia dengan meningkatkan keamanan dan
pemeliharaan standar.
9. Pemeliharaan catatan
secara akurat terhadap insektisida yang dipakai.
Alternatif Kebijakan
Implementasi PHT dalam Praktek Pertanian yang Baik Menuju Pertanian
Berkelanjutan.
1. Pemilihan Varietas
Tahan dan Hemat Energi
Keberlanjutan pertanian
antara lain ditentukan oleh penggunaan varietas tahan hama penyakit dan hemat
energi. Usaha untuk menghasilkan varietas yang hemat energi di antaranya adalah
dengan mengubah tipe tanaman C3 menjadi C4, atau mengubah arsitektur tanaman
menjadi lebih produktif, misalnya padi tipe baru dengan anakan sedikit dan
bentuk daun yang memiliki kemampuan lebih tinggi untuk berfotosintesis sehingga
dapat berproduksi lebih tinggi (Cantrell 2004).
Dalam memilih varietas
yang akan ditanam, nilai tambah produksi dan pemasaran juga perlu
diperhitungkan. Hal ini penting artinya karena setiap varietas mempunyai
karakter yang berbeda; ada yang cocok untuk dibuat bihun, beras kristal, nasi
goreng, dan sebagainya. Dalam praktek pertanian yang baik, petani perlu
dibimbing dalam memilih varietas yang tidak rakus hara, hemat air, tahan hama
dan penyakit, dan berproduksi normal di mana pun ditanam. Ini penting artinya
agar mereka tidak menggunakan input secara berlebihan, baik pupuk, air maupun
pestisida, sebagaimana yang dikehendaki oleh kaidah praktek pertanian yang baik
menuju keberlanjutan sistem produksi.
Dalam kesempatan ini
dianjurkan kepada para pemulia tanaman untuk menyusun program perakitan
varietas padi yang hemat energi, tahan hama dan penyakit, dan berproduksi
normal di mana pun ditanam. Paradigma baru pemuliaan tanaman ini seyogianya
dapat dijabarkan ke dalam rencana strategis penelitian padi nasional.
Pembentukan varietas padi tahan hama penyakit dan hemat energi sesuai dengan
dinamika paradigma pembentukan varietas unggul baru dari zaman ke zaman.
2. Teknologi
Pengendalian Hama secara Hayati
Pengendalian hayati
secara inundasi adalah memasukkan musuh alami dari luar dengan sengaja ke
pertanaman untuk mengendalikan hama. Inundasi yang dapat dilakukan adalah
penggunaan cendawan Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae sebagai agens
hayati. Efektivitas biakan B. bassiana terhadap wereng coklat mencapai 40%
(Baehaki et al. 2001). Cendawan ini selain dapat mengendalikan wereng coklat,
juga dapat digunakan untuk mengendalikan walang sangit (Tohidin et al. 1993),
Darna catenata (Daud dan Saranga 1993), dan lembing batu (Caraycaray 2003).
Formulasi cendawan M. anisopliae dapat menurunkan populasi hama sampai 90%.
Pergiliran Varietas
antarmusim
Hama tanaman padi tidak
akan meledak sepanjang musim dan peningkatan populasinya hanya terjadi pada
musim hujan. Pada musim kemarau, populasi hama, misalnya wereng, cenderung
rendah, kecuali pada musim kemarau yang banyak hujan atau di daerah cekungan.
Pergiliran varietas berdasarkan gen ketahanan yang terkandung pada tanaman padi
untuk menghadapi tingkat biotipe wereng coklat. Pada daerah wereng coklat
biotipe 1, pertanaman padi diatur dengan menanam varietas yang mempunyai gen
tahan Bph1, bph2 dan Bph3 pada musim hujan. Pada musim kemarau dapat ditanam
varietas padi yang tidak mempunyai gen tahan.
Pergiliran varietas
pada daerah wereng coklat biotipe 2 dilakukan dengan menanam varietas yang
mempunyai gen tahan bph2 dan Bph3 pada musim hujan. Pada musim kemarau ditanam
varietas yang mempunyai gen Bph1. Pergiliran varietas pada daerah wereng coklat
biotipe 3 dilakukan dengan menanam varietas yang mempunyai gen tahan Bph1+ dan
Bph3 pada musim hujan. Pada musim kemarau ditanam varietas dengan gen tahan
Bph1 dan bph2. Pengaturan pertanaman di dalam musim juga diperlukan untuk
menangkal serangan wereng coklat dan penggerek batang padi, yaitu pada awal
musim hujan menanam varietas tahan yang berumur pendek dan pada pertengahan
musim sampai akhir musim hujan menanam varietas yang tidak tahan ataupun tahan
wereng coklat dan berumur panjang.
3. Teknologi
Pengendalian Hama Padi dengan Sistem Integrasi Palawija pada Pertanaman Padi
Para ahli agroekologi
sedang mengenalkan intercropping, agroforestry, dan metode diversifikasi
lainnya yang menyerupai proses ekologi alami (Alteri 2002). Hal ini penting
artinya bagi keberlanjutan kompleks agroekosistem. Pengelolaan agroekologi
harus berada di garis depan untuk mengoptimalkan daur ulang nutrisi dan pengembalian
bahan organik, alir energi tertutup, konservasi air dan tanah, serta
keseimbangan populasi hama dan musuh alami. Hama dan penyakit tanaman padi juga
dapat dikendalikan berdasarkan agroekologi, antara lain dengan sistem integrasi
palawija pada pertanaman padi (SIPALAPA).
Sistem ini berupa
pertanaman polikultur, yaitu menanam palawija di pematang pada saat ada tanaman
padi. SIPALAPA dapat menekan perkembangan populasi hama wereng coklat dan
wereng punggung putih. Hal ini disebabkan adanya predator Lycosa
pseudoannulata, laba-laba lain, Paederus fuscifes, Coccinella, Ophionea
nigrofasciata, dan Cyrtorhinus lividipennis yang mengendalikan wereng coklat
dan wereng punggung putih. Demikian juga parasitasi telur wereng oleh
parasitoid Oligosita dan Anagrus pada pertanaman SIPALAPA lebih tinggi daripada
pertanaman padi monokultur. Penerapan teknologi SIPALAPA dapat meningkatkan
keanekaragaman sumber daya hayati fauna dan flora (biodiversitas). Penanaman
kedelai atau jagung pada pematang sawah terbukti dapat memperkaya musuh alami,
mempertinggi dinamika dan dialektika musuh alami secara dua arah antara tanaman
palawija dan padi. Dalam praktek pertanian yang baik, pada pasal 13.b
disebutkan bahwa keberhasilan usaha tani terkait dengan upaya peningkatan
keanekaragaman hayati melalui konservasi lahan (EUREP 2001). Hal ini dapat
diaktualisasikan melalui aktivitas kelompok tani dengan menghindari kerusakan
dan deteriorasi habitat, memperbaiki habitat, dan meningkatkan keanekaragaman
hayati pada lahan usaha tani.
4. Pengendalian
berdasarkan Manipulasi Musuh Alami
Pengendalian hama
berdasarkan manipulasi musuh alami dimaksudkan untuk memberikan peranan yang
lebih besar kepada musuh alami, sebelum memakai insektisida. Pada prinsipnya
musuh alami akan selalu berkembang mengikuti perkembangan hama. Selama musuh
alami dapat menekan hama maka pengendalian dengan bahan kimia tidak diperlukan
karena keseimbangan biologi sudah tercapai. Namun bila perkembangan musuh alami
sudah tidak mampu mengikuti perkembangan hama, artinya keseimbangan biologi
tidak tercapai, maka diperlukan taktik pengendalian yang lain, termasuk
penggunaan bahan kimia. Teknologi pengendalian wereng coklat menggunakan ambang
kendali berdasarkan manipulasi musuh alami dapat mengurangi pemakaian
insektisida dan
meningkatkan pendapatan
(Baehaki et al. 1996). Teknologi ini diawali dengan pemantauan pada pertanaman
untuk menentukan ambang ekonomi wereng terkoreksi musuh alami dengan
menggunakan formula Baehaki (1996). Insektisida yang direkomendasikan dapat digunakan
untuk pengendalian hama jika ambang ekonomi terkoreksi yang ditentukan telah
terlampaui.
Pengendalian hama
berdasarkan manipulasi musuh alami menghemat penggunaan insektisida 33-75%,
meskipun pada musim hujan dengan kelimpahan hama wereng cukup tinggi. Dengan
cara ini, hasil padi di tingkat petani meningkat 36% dengan peningkatan
keuntungan 53,7%. Ambang ekonomi bukan harga yang tetap, tetapi berfluktuasi
bergantung pada harga gabah dan pestisida. Bila harga gabah meningkat maka
ambang ekonomi akan turun dan sebaliknya, tetapi bila harga insektisida naik
maka amba
5. Teknologi
Pengendalian Hama berdasarkan Ambang Ekonomi
Tidak semua hama dapat
diformulasikan teknologi pengendaliannya berdasarkan musuh alami karena
terbatasnya pengetahuan tentang korelasi perkembangan musuh alami dengan
perkembangan suatu hama. Bagi hama yang belum ada teknologi pengendaliannya
berdasarkan perkembangan Musuh alami, dapat digunakan teknologi berdasarkan
ambang ekonomi tunggal atau ambang ekonomi ganda. Di lapangan, adakalanya
pertanaman padi diserang oleh lebih dari satu macam hama sehingga diperlukan
teknologi yang mampu mengendalikan lebih dari satu jenis hama. Untuk itu,
pengendalian dapat berpatokan pada ambang ekonomi hama ganda. Formula
pengendalian hama berdasarkan ambang ekonomi ganda pada fase vegetatif untuk
wereng coklat-wereng punggung putih mengikuti pola 9-0-14, sedangkan pada fase
reproduktif mengikuti pola 18-0-21. Ambang ekonomi ganda sundep-ulat grayak
pada fase reproduktif mengikuti pola 9-0-15, sundep-hydrellia pada fase
vegetatif mengikuti pola 6-0-19, dan sundep-pelipat daun pada fase vegetatif
mengikuti pola 9-0-13 (Baehaki dan Baskoro 2000).
Pengendalian dengan
insektisida dilakukan setelah populasi hama atau kerusakan tanaman mencapai
ambang ekonomi ganda yang telah ditentukan.
6. Minimalisasi Residu
Pestisida
Penggunaan insektisida
merupakan taktik dinamis yang dilaksanakan dalam kurun waktu pertumbuhan
tanaman bila teknik budi daya dan pengendalian hayati gagal menekan populasi
hama di bawah ambang ekonomi. Penentuan ambang ekonomi sangat penting sebagai
dasar pengambilan keputusan pengendalian. Bhat (2004) menyebutkan bahwa ambang
ekonomi merupakan komponen yang sangat penting dalam PHT. Pengendalian hama
berdasarkan ambang ekonomi juga bertujuan untuk mengatasi penggunaan bahan
kimia secara berlebihan yang berdampak terhadap tingginya residu pestisida pada
produk pertanian dan pencemaran lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar